Daily Archives: April 4, 2016

Dibalik Tenaga Penguatan Saham WIKA 50,5 Persen

Pada kondisi pasar bullish, pergerakan harga saham PT Wijaya Karya (WIKA) berpeluang ditransaksikan dengan PER 20 kali atau memiliki ruang penguatan 50,5% dari harga saat ini. Seperti apa?

Pada sesi pertama perdagangan Senin (4/4/2016) hingga pukul 10.23 WIB, saham PT Wijaya Karya (WIKA) ditransaksikan menguat Rp35 (1,3%) ke posisi Rp2.675. Harga tertinggi di Rp2.685 dan terendah Rp2.660. Jumlah lot yang ditransaksikan mencapai 36.411 senilai Rp9,7 miliar.

Menurut David Sutyanto, analis riset First Asia Capital, saham WIKA punya support jangka pendek di Rp2.600 dan resisten di Rp2.700. “Harga saham Wijaya Karya Tbk (WIKA) akhir pekan lalu rebound tutup di Rp2.640 setelah sempat tertekan di Rp2.580,” katanya dalam riset yang diterima INILAHCOM di Jakarta, Senin (4/4/2016). Read the rest of this entry

Waspada, Reli Emerging Market Dibayangi Sinyal Mengkhawatirkan

Dibalik reli indeks harga saham emerging markets pada Maret lalu, yang mencapai level tertinggi sejak 2009, ada sejumlah sinyal mengkhawatirkan bahwa reli tersebut bakal membentur tembok tebal.

Data Bloomberg menunjukkan, kenaikan harga saham hingga 13 persen pada bulan lalu berlangsung dengan volume perdagangan yang tipis, terendah dalam lima tahun. Di pasar valas, pergerakan nilai tukar mata uang banyak mengikuti pergerakan harga minyak, yang mengindikasikan kerentanan nilai tukar mata uang terhadap perubahan harga komoditas.

Kondisi tersebut menegaskan kerapuhan yang mendasari rebound indeks saham yang digerakkan oleh aliran modal investor pada Maret lalu, tertinggi sejak Juni 2014. Menurut Barclays Plc. dan UBS AG, reli di bursa saham EM itu tidak sejalan dengan kejatuhan ekspor dan kontraksi sektor manufaktur di negara-negara berkembang.

Sementara itu, pendorong terjadinya reli – sikap melunak Federal Reserve, stabilitas ekonomi China dan kenaikan harga minyak – dinilai tidak akan bertahan lama.

“Gambaran makro emerging markets tidak banyak berubah sejak Januari,” kata Yerlan Syzdykov, manajer obligasi emerging market Pioneer Investment Management Ltd. “Pelambatan ekonomi di emerging markets akan berlanjut hingga 2018,” imbuhnya, seperti dikutip Bloomberg, (1/4).

Setelah kehilangan sekitar seperempat dari nilainya sejak 2012, nilai saham, mata uang, obligasi EM bangkit kembali. Pada Maret lalu, harga saham di sejumlah negara berkembang mengalami kenaikan nilai sekitar US$1,8 triliun, lompatan tertinggi sejak 2007 silam. Indeks MSCI Emerging Market meningkat 22 persen dari nilai terendah dalam tujuh tahun, pada Januari lalu, atau dua kali lipat kenaikan indeks acuan saham negara maju.

Sejumlah penghalang itu, setidaknya kini sudah memudar. Harga minyak naik 46 persen dari harga terendah selama 13 tahun pada Februari lalu. China juga mulai bertindak untuk mendongkrak pertumbuhan, dan ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed sudah menyurut.

Pelemahan nilai tukar dolar AS, membuat rata-rata imbal hasil surat utang EM dalam mata uang lokal sekitra 6,5 persen menjadi daya tarik, ketika sekitar US$8 triliun surat utang pemerintah global menawarkan suku bunga di bawah nol.

“Landasan mata uang emerging market  menjadi sedikti lebih baik, begitu juga dengan komoditas,” kata Pablo Goldberg, ahli strategi surat utang EM dari BlackRock Inc, New York.

Namun menurut Guillermo Modino, ahli strategi Citigroup, investor perlu mewaspadai semakin menyempitnya gap imbal hasil US Treasuries berjangka dua tahun dan 10 tahun, yang menunjukkan rentang terendah sejak 2007. Penyempitan gap yang menjadi barometer minat untuk aset-aset berimbal hasil tinggi – mengindikasikan bahwa EM rentan berbalik arah ketika inflasi AS mulai meningkat.

Sejumlah indikator lain, berdasarkan data Bloomberg, juga mendukung sinyalemen Modino. Indikator tersebut antara lain  seperti lebih sedikitnya saham EM yang ditransaksikan setiap harinya ketimbang saham negara maju, dan korelasi yang semakin erat antara nilai mata uang EM dengan harga minyak.

Sinyal pelemahan ekonomi di EM juga tersirat dalam tingkat keuntungan perusahaan. Masih berdasarkan data Bloomberg, return on equity perusahaan dalam acuan indeks MSCI EM juga turn menjadi 10,5, mendekati level terendah sejak 2010.

“Terlalu awal untuk mengatakan bahwa rintangan sudah berakhir,” kata John Carlson, manajer valas Fidelity Investment. “Kemampuan untuk mempertahankan reli akan membutuhkan banyak hal agar segalanya tepat berada di tempatnya.” Read the rest of this entry